Workshop penyusunan praktek kedokteran dan Clinical Pathway di RS yang diselenggarakan oleh Seksi Rujukan Dinkes Provinsi Sulawesi Tengah dilaksanakan di hotel Grand Duta Palu pada tanggal 28-30 Juli 2016 dengan narasumber Hanevi Djasri, dr, MARS dan Puti Rahma Aulia, drg, MPH. dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK UGM , yang mengatakan Masalah untung rugi tarif INA CBG’s terjawab setelah dr. Hanevi Djasri mengungkapkan, ” Kerugian RS dapat diketahui dari real cost“. Faktanya, RS mengurangi keuntungan, tapi tidak rugi. Sebesar 80% penggunaanclinical pathway menunjukkan profit bagi RS.
UU 40/ 2004 tentang SJSN, bab 24 ayat 3 menetapkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) harus mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, kendali mutu dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan, hal ini bertentangan dengan Peraturan presiden No 12 Tahunn 2013 yang menempatkan kendali mutu di pasal 42 dan sistem pembayaran di pasal 39. UU BPJS mengutamakan mutu sedangkan Perpres mengutamakan harga.
Mutu pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan melalui penerapan clinical pathway yang konsisten.Clinical pathway merupakan salah satu alat manajemen penyakit yang dapat mengurangi variasi pelayanan. Clinical pathway memberikan cara untuk mengembangkan dan mengimplemantasikan clinical guidline ke dalam protokol lokal. Hill (1998) menyatakan terdapat empat komponen clinical pathway yaitu timeline, kategori pelayanan, kriteria outcome dan pencatatan variasi.
Di Amerika Serikat, hampir 80% RS menggunakan clinical pathway untuk beberapa indikator, tapi efektifitas penggunaan clinical pathway sebagai alat kendali mutu masih menjadi perdebatan. Hal ini disebabkan oleh hasil penelitian dari berbagai sumber yang tidak konsisten karena terjadi bias penelitian. Berbagai hasil penelitian menunjukkan efektivitas clinical pathway seperti hasil penelitian Feagan (2011) tentang memfasilitasi early discharge, meningkatkan indeks kualitas hidup dan penelitian Darer(2002) bahwa clinical pathway menurunkan LOS, meningkatkan clinical outcome, meningkatkan economic outcome, dan mengurangi tindakan yang tidak diperlukan. Efektivitas clinical pathway dapat diperoleh jika pathway disusun berdasarkan strategi yang dikendalikan oleh pimpinan.

drg. Puti dalam presentasinya memaparkan langkah-langkah menyusun clinical pathway. Ada 11 langkah menyusun clinical pathway, yaitu: (1) menentukan topik, penentuan topik didasarkan pada jumlah penyakit terbanyak, high cost, high risk dan problem prone ataupun dari data klaim INA-CBG’s yang besar gapnya; (2) menunjuk kordinator, koordinator berperan untuk memfasilitasi penyusunan CP; (3) menetapkan pemain kunci, menetapkan setiap orang yang menguasai untuk dilibatkan dalam pengobatan; (4) kunjungan lapangan, melihat kepatuhan terhadap PPK ataupun identifikasi studi banding; (5) pencarian literatur, mencari best parctice pada skala nasional maupun internasional; (6) melaksanakan customer focus, mengidentifikasi kebutuhan pelanggan dan menyesuaikannya dengan kemampuan RS; (7) Telaah pedoman Praktik Klinik, CP adalah pelengkap PPK, PPK harus di-review 2 tahun sekali; (8) analisis casemix, menggali informasi LOS, biaya per kasus, penggunaan obat, dan test yang diminta; (9) Desain, menepakati desain CP yang digunakan; (10) Pengukuran proses dan outcome, dalam hai ini dilakukan penetapan item-item aktivitas untuk proses dan outcome pelayanan untuk pengumpulan data pasien; dan (11) sosialisasi dan edukasi, proses sosialisasi dan edukasi intensif dilakuan selama 6 bulan. <maam2016>